JAWARA PROPERTY.- Tanah adat adalah tanah-tanah atau wilayah teritori tertentu termasuk segala kekayaan alam yang berada di area tersebut, yang dinyatakan self-claimed, baik yang kemudian diakui ataupun tidak diakui oleh pemerintah. Menurut Dianto Bachriadi Dosen Fakultas Pertanian Unpad mengatakan tanah adat sebagai milik sekelompok orang atau komunitas tertentu.
“Selama ada kelompok masyarakat yang mengklaim tanah mereka sebagai milik mereka, di bawah penguasaan mereka yang diatur oleh norma-norma hukum adat setempat, kita bisa katakan itu sebagai tanah adat,” ujar Dianto dalam Webinar Youtube BEM Fisip Unpad.
Dianto mengatakan, tanah adat tentu berkaitan erat dengan masyarakat adat. Lantas apa itu masyarakat adat?
View this post on Instagram
Masyarakat adat yang dijelaskan oleh Dianto adalah suatu komunitas atau satuan sosial yang anggota-anggotanya terhubung dan terikat berdasarkan ikatan-ikatan genealogis dan kewilayahan, di dalamnya memiliki wilayah penghidupan yang jelas batas-batasnya secara budaya maupun geografis.
“Jadi pengaturan kehidupan masyarakat adat itu bersandarkan pada aturan-aturan dan norma hukum setempat, atau biasa disebut dengan masyarakat hukum adat,” terang Dianto.
Menurut Dianto komunitas masyarakat adat pada dasarnya tidak pernah menyebut dirinya sebagai masyarakat adat. Mereka mengidentifikasi dirinya berdasarkan penamaan lokal yang berlaku secara internal maupun yang dikenal oleh komunitas sekitar lainnya.
“Contohnya adalah masyarakat baduy, mereka tidak mengklaim dirinya masyarakat adat jika ditanya oleh orang lain,” tutur Dianto.
Rumah Dijual di Keandra Lagoon Cibubur di Bawah 300 Juta
Dianto mengatakan istilah masyarakat adat pada umumnya disematkan oleh pihak lain dengan merujuk pada klaim kewilayahan yang dalam hal ini disebut dengan tanah adat dan dianggap menjadi bagian dari komunitas setempat tersebut.
“Yang diperhadapkan juga dengan klaim atas wilayah yang sama dan datang dari pihak lainnya. Istilah masyarakat adat ini memang sangat kental warna politiknya ketimbang pengertian akademik, ini juga masih sering menjadi perdebatan,” jelas Dianto.
Perbedaan klaim inilah yang menurut Dianto masih menjadi alas dari persengketaan klaim yang dapat menjurus pada konflik-konflik yang lebih luas, dan seringkali disebut dengan konflik agraria pada tanah adat.
“Ini akibat dari tidak adanya perlindungan hukum terhadap masyarakat adat, hak atas tanah dengan hukum yang sama diberikan kepada hukum negara, maka keluarlah hak-hak formal di atas tanah adat tersebut, dari sinilah terjadinya suatu konflik,” ungkap Dianto.